TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah sepekan terakhir menunjukkan penguatan dan berhasil lengser dari posisi 15.000 per dolar AS. Kemarin, kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) ditutup di level 14.651 per dolar AS.
Baca: Rupiah Menguat, Tiga Faktor Ini Diduga Jadi Alasannya
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo berujar perkasanya rupiah utamanya dipicu oleh beberapa faktor eksternal. Salah satunya sehubungan dengan rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping akhir November nanti. “Pembicaraan terkait kebijakan perdagangan itu diprediksi hasilnya positif,” ujar Dody, kepada Tempo, Kamis 8 November 2018.
Angin baik lain datang dari hasil pemilihan umum (pemilu) sela AS, yang menunjukkan keberhasilan Partai Demokrat memenangkan kembali mayoritas kursi di Kongres (House of Representative). “Ini meningkatkan prospek terjadinya political gridlock yang dapat menghambat berbagai agenda yang tidak market friendly,” ucapnya.
Sentimen domestik pun tak kalah kuat, yaitu dari pengaruh indikator makro ekonomi yang dinilai cukup kuat dan berdaya tahan. Dody menjelaskan di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi triwulan III sebesar 5,17 persen, inflasi Oktober yang terjaga rendah di 3,16 persen, dan pertumbuhan kredit September membaik sebesar 12,69 persen.
Belum lagi, posisi cadangan devisa Indonesia yang sejak awal tahun trennya terus merosot, untuk pertama kali pada Oktober lalu kembali meningkat di posisi US$ 115,16 miliar. “Ketika kondisi eksternal beranjak kondusif, investasi pun kembali mengalir masuk,” katanya.